Kesulitan modal kerja atau memperoleh pinjaman berbunga murah merupakan hambatan dalam berbisnis. Ditengah kesulitan seperti ini, seorang anak petani yang tidak tamat SD, Masril Koto, justru memutuskan mendirikan bank untuk memutar permodalan di kalangan petani. Tidak tanggung-tanggung, bank ciptaan Masril Koto kini telah berjumlah 900 unit dan tersebar di berbagai daerah di Indonesia.
Hidup Masril sangatlah keras. Ayahnya berprofesti tidak tetap sebagai tukang kayu, sementara ibunya merupakan petani kebun. Masril dan kedelapan saudaranya harus hidup berpindah mengikuti sang ayah yang sering berpindah sesuai tempat bertukang. Kerasnya hidup membuat Masril putus sekolah di kelas 4 SD. Di usia 9 tahun, Masril sempat menjadi pemungut sampah.
Sebagai anak Minang (Sumatera Barat), Masril Koto sempat mencoba peruntungan dengan merantau ke Jakarta di tahun 1994. Ia sempat bekerja sebagai petugas fotocopy di dekat sebuah kampus. Meski tidak tamat SD, ia rajin menambah ilmu dengan membaca buku-buku mahasiswa yang difotocopinya. Ia pun berusaha belajar berorganisasi melalui pergaulan dengan para mahasiswa dan perantau Minang di sekitarnya.
Di tahun 1998 ketika kerusuhan merebak di Jakarta, ia memutuskan pulang ke kampungnya. Kondisi di kampunya ternyata telah banyak berubah. Yang membuatnya prihatin adalah adanya ketidakharmonisan antar para pemuda, pemuda lokal dengan pemuda pendatang. Akhirnya ia memutuskan untuk berusaha menyatukan mereka melalui kegiatan positip. Langkah awalnya adalah bergotong-royong membuat lapangan basket, sekaligus tempat bersosialisasi.
Selanjutnya mereka mebangun ruko di tanah desa yang memang diperuntukkan untuk para pemuda karang taruna. Pembangunan enam ruko tersebut dimulai dengan meminjam material ke toko bangunan, lalu dicicil secara bergotong-royong. Kelompok pemuda tersebut kemudian berkembang menjadi Yayasan Amai Setia.
Merintis Bank Petani
Setelah menikahi Ade Suryani, Masril melihat kendala yang dihadapi para petani yaitu kesulitan mendapatkan modal untuk memperluas kebun. Terbersit ide di benaknya untuk mendirikan bank untuk para petani. Masril lalu berdiskusi dengan berbagai pihak, termasuk keluar masuk bank di Padang untuk menanyakan cara-cara mendirkan bank.
Akan tetapi ia tidak memperoleh jawaban yang memutuskan sampai suatu hari ia bertemu seorang pegawai Bank Indonesia di pelatihan akuntansi. Pegawai BI tersebut kemuadian mengudangnya ke kantor BI di Jakarta untuk berdiskusi lebih lanjut. Pengalaman memasuki gedung megah Bank Indonesia di tahun 2005 sangatlah berkesan bagi Masril.
Semangat Masril semakin mantap. Sekitar 200 petani mengumpulkan Rp15 juta sebagai modal awal pendirian “bank.” Tahun 2006, bank yang dinanti-nanti itu mulai beroperasi. Akan tetapi modal yang terkumpul, dalam sekejap ludes dipinjam nasabahnya. Masril pun memutar akal agar ada dana yang tinggal untuk membiayai operasional bank. Lalu ide tabungan dan setoran tahunan anggota menjadi solusi. Lembaga Keuangan Mikro (LKM) Prima Tani pun berjalan.
Menyebarkan Semangat Bank Petani
Masril tak berhenti. Ia rajin menyebarkan dan membina para kelompok petani lainnya membangun lembaga pembiayaan lokal dengan semangat “dari kita untuk kita”. Seorang warga Jepang yang merupakan pemerhati kewirausahaan sosial meminta Masril untuk mengajarkan pembuatan lembaga keuangan mikro kepada sekitar 2000 petani di Sumatera Barat.
Ide Masril pun terus bergulir. Saat ini setidaknya 900 bank petani telah dibentuk dengan dana kelolaan bervariasi mulai Rp300 juta sampai Rp 4 milliar tiap bank. Masril memperkirakan total aset bank –bank petani tersebut sudah mencapai Rp90 milliar.
Berbicara tentang pemberdayaan, Masril mengupayakan agar setiap bank benar-benar dikelola oleh masyarakat setempat. Para petani merupakan pemilik bank karena merekalah yang memodali, anak-anak petani menjadi karyawan bank sehingga membuka lapangan kerja dan mengurangi urbanisasi. Para tetua desa diangkat sebagai penasehat. Model manajemen seperti ini memungkinkan timbulnya pembagian peran, keterbukaan, saling menghormati, dan mendorong keefektifan pengelolaan keuangan untuk para petani.
Tidak berhenti di sana, Masril pun paham pentingnya menambah ilmu. Ia lalu menggagas pembentukan perpustakaan untuk para petani. Ia meminta bantuan para perantau di kota melalui program “Sejuta Buku untuk Petani.” Hal itu dilakukannya untuk menimbulkan kesadaran orang kota akan pentingnya keberadaan para petani. “Kalian bisa makan karena ada petani. Kalian bisa sehat dan cantik karena ada petani yang menanam bahan makanan,” kata Masril.
Belakangan, Masril juga menggagas terbentuknya “Lumbung Pangan Rakyat” kerena menurutnya BULOG yang ada saat ini tidak cukup efektif menjaga kestabilan harga pangan dan memperjuangkan hak para petani. Dengan LKM dan Lumbung Pangan Rakyat, Masril memobilisasi petani untuk sungguh-sungguh mengupayakan kemandirian pangan yang selama ini hanya sering menggaung di panggung-panggung pidato serta ruang seminar. Masril dan para petani telah melangkah dalam aksi nyata.
Keberhasilan Masril sungguh menginspirasi. Ia sudah membuka setidaknya 1500 lapangan kerja saat ini. Sampai tahun 2016, ia menargetkan setidaknya membangun 1000 LKM lagi.Tak heran jika ia sering dipanggil sebagai pembicara di seminar-seminar kewirausahaan. Tahun 2011 Ashoka, sebuah lembaga jaringan kewirausahaan sosial internasional, memberikan penghargaan khusus Ashoka Fellowships, kepada Masril Koto sebagai seorang pembaharu sosial yang berpengaruh.
Anda punya masukan, informasi atau komentar? Sampaikan di sini..