Salah satu bidang yang disasar Ditjen Pajak (DJP) adalah bonus yang diterima oleh para pelaku bisnis penjualan langsung (direct selling) atau yang dikenal juga sebagai multi level marketing (MLM). Hal ini wajar mengingat perkembangan industri penjulualan langsung cukup pesat belakangan ini di segala lapisan masyarakat sebagai alternatif wirausaha.
Namun demikian, bonus yang diterima para member industri direct selling alias MLM tidak boleh serta merta dijadikan dasar untuk menghitung pajak penghasilan. Dalam dialog antara para usahawan MLM dengan Ditjen Pajak pada hari Jumat (3/6), ketua Asosiasi Penjualan Langsung Indonesia (APLI) H. Djoko Komara menegaskan bahwa pendapatan yang diterima para member MLM tidak bisa langsung dianggap sebagai profit. Hal ini disebabkan karena dalam menjalankan usahanya, para member MLM juga mengeluarkan biaya (cost).
Hal senada diungkapkan oleh Andriana, agen produk kecantikan Oriflame. “Bonus kami pakai untuk membiayai kegiatan kami dalam menjual produk,” ujar Andrina sebagaimana dilansir Kontan.
MLM saat ini memang berkembang menjadi pilihan wirausaha. Sebagaimana semua jenis usaha lainnya, agen sebagai wirausahawan MLM juga mengeluarkan biaya dalam menjalankan usaha. Biaya tersebut meliputi biaya promosi dalam bentuk pertemuan, biaya perjalanan, dan lain-lain yang memang tidak dibiayai oleh perusahaan. Unsur biaya-biaya ini harus diperhitungkan oleh Ditjen Pajak sebelum menetapkan dasar pengenaan pajak bagi para agen atau member MLM.
Puspita Wulandari, Staf Ahli Keuangan Bidang Pengawasan Perpajakan menanggapi bahwa pihaknya memahami adanya komponen biaya dalam pendapatan yang diterima para pelaku bisnis penjualan langsung. Biaya sehari-hari yang dikeluarkan oleh anggota MLM belum dikategorikan sebagai pengurangan atas penghasilan. Pada format Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT) pajak tahunan juga tidak disertakan.
“Bonus kan tidak netto bersih, kan harus jalani komunitas, ada sharing. Itu juga harus diperhitungakan sebagai pengurangan,” papar Puspita.
Ia menjelaskan bahwa perlakukan perpajakan yang sama bisa diterapkan sebagaimana mekanisme digunakan Ditjen Pajak bagi para wajib pajak yang belum melakukan pembukuan. Sebagaimana diketahui, bagi usahawan yang belum menyelenggarakan pembukuan, Ditjen Pajak mengenakan aturan norma sebagai dasar menghitung pajak penghasilan.
“Aturan norma penghasilan netto untuk masyarakat atau wajib pajak yang tidak melakukan pembukuan. Misalnya, ada norma (penghasilan netto dihitung) 40% (dari total omzet)” terang Puspita. Ia menganggap bahwa dari sisi aturan perpajakan sebenarnya sudah cukup memadai. Yang diperlukan adalah peningkatan kepatuhan para wajib pajak dalam membayar kewajiban pajaknya.
Dalam acara dialog tersebut, Ditjen Pajak memberikan penghargaan kepada PT Melia Sehat Sejahtera sebagai perusahaan MLM dengan kepatuhan pajak terbaik 2015. Pemberian penghargaan ini diharapkan mendorong peningkatan kepatuhan para wajib pajak terutama kalangan bisnis direct selling atau MLM. (Credit pic: Directsellingnews.com).
Anda punya masukan, informasi atau komentar? Sampaikan di sini..