Siapa sangka, Susi Pudjiastuti yang kini memiliki armada Susi Air sebanyak 49 pesawat dan bisnis perikanan jutaan dollar per tahun, sebetulnya merupakan siswi drop-out dari sekolah. Ia memulai belajar bisnis otodidak dengan berjualan ikan dan udang. Tidak sedikit yang bertanya dan ingin mengetahui kisah perjuangan wanita ulet ini. Itulah sebabnya, Howmoneyindonesia.com memilih Susi Pudjiastuti sebagai salah satu tokoh untuk rubrik inspirasi kali ini.
Susi tidak pernah bermimpi bisa mencapai kesuksesan besar dalam bisnis. Ia pun tidak memulai kisah suksesnya dari metropolitan melainkan dari kawasan pantai Pangandaran, Jawa Barat. Dimasa sekolahnya, Susi muda memang dikenal sebagai siswi yang pandai. Posisi ranking pertama tidak pernah lepas dari genggaman dari SD sampai SMA.
Namun sebagai pelajar SMA yang pintar, ia tidaklah merasa betah ataupun bahagia menjalani rutinitasnya. Di usia 17 tahun (kelas 2 SMA) Susi memutuskan berhenti sekolah. Tentu saja kedua orang tuanya kecewa dan marah besar. Tetapi Susi sudah bulat dengan pilihannya.
Lika-liku Awal Bisnis
Untuk mengisi waktunya, ia ikut ayahnya berjualan aneka hasil laut, suatu usaha yang lazim di daerahnya. Susi pun menikmati jiwa dagangnya yang tersalur. Di tahun 1984, ia menambah dagangannya dengan berjualan barang-barang keperluan rumah tangga termasuk bed cover dan pakaian pantai. Ia juga merambah jual beli hasil bumi sambil tetap mengepul ikan dan lobster. Akan tetapi, nasib menunjukkan bahwa menjadi pengepul hasil laut bakal membuka pintu suksesnya.
Sebagai pengepul ikan, setiap subuh Susi sudah ada di tempat pelelangan ikan (TPI) Pangandaran untuk mengumpulkan ikan, udang, dan lobster segar dari para nelayan setempat. Selanjutnya Susi meneruskannya ke rumah makan dan restoran di sekitarnya. Penghasilannya pun lumayan, bisa mencapai omzet Rp1-3 juta setiap hari.
Terbatasnya pasokan ikan di Pangandaran membuat Susi tertantang memutar otak. Ia pun mulai merambah daerah-daerah Pantura sampai ke Cirebon. Susi tak segan naik turun truk setiap hari demi menjalankan usahanya. Hasilnya, tak kurang dari Rp5-10 juta penjualan per hari dikantonginya. Untuk mencari lobster, ia juga menyusuri para petambak di pantai-pantai Sumatera Barat, Lampung dan Sumatera Utara.
Menjelang tahun 1990-an Susi telah dikenal sebagai pedagang lobster ternama. Usahanya berhasil menyerap setidaknya 80% lobster di garis pantai Selatan Jawa. Lobster-lobtser tersebut dipasok ke aneka perusahaan besar. Sayangnya banyak mitra bisnisnya yang curang dan sering mempermainkan harga sesuka hati. Tidak patah arang, Susi mendirikan perusahaan sendiri dengan nama PT Andhika Samudera agar bisa mengekspor sendiri lobsternya ke luar negeri. Ia pun menyewa pabrik di daerah Cicurug, Sukabumi. Dari situ Susi mengirim lobsternya langsung ke Jepang dan Korea Selatan.
Akan tetapi cobaan rupanya belum menjauh dari Susi. Beberapa partnernya dari Korea Selatan dan Jepang mengajaknya bekerja sama untuk membangun pabrik pengolahan. Mereka berjanji membantu menyediakan mesin dan peralatan. Perjanjian pun diteken. Sebagai langkah awal, Susi mulai membangun pabriknya di Pangandaran dengan dana tunai yang sedianya akan digunakan untuk menjalankan bisnisnya di Cicurug. Namun pihak Jepang dan Korsel tak kunjung datang membawa dana kerjasama yang telah dijanjikan. Susi pun menderita kerugian, bisnisnya terseok.
Baca juga: 10 Kebiasaan Positip Para Milyarder
Beruntung pertolongan datang dari salah seorang pembelinya di Jepang. Pengusaha Jepang tersebut membantunya mendapatkan pinjaman sehingga pabrik pengolahan di Pangandaran bisa beroperasi. Tak lama sesudahnya, Susi melakukan ekspor perdana langsung dari Pangandaran.
Ketika krisis moneter menerpa seantero Asia dan menggulung begitu banyak perusahaan, bisnis Susi malah berkibar kencang. Maklum pembayaran diterimanya dalam bentuk dollar yang waktu itu sangat kuat dibandingkan rupiah. Saat itu omzetnya mencapai $5-10 juta per tahun.
Membeli Pesawat Sendiri
Masalah lain dalam bisnis hasil laut adalah soal kesegaran. Susi mendapati bahwa dengan waktu tempuh sekitar 8 jam dari Pangandaran ke Jakarta, banyak ikan atau lobtser yang tidak bisa bertahan hidup. Ia mulai mempertimbangkan untuk menggunakan transportasi udara.
Tahun 2000 Susi mulai melakukan survei untuk pembelian pesawat. Sejumlah proposal pun disiapkan untuk mengajukan pinjaman ke bank. Akan tetapi kebanyakan pimpinan bank malah menganggap usulannya sebagai ide gila. “Seorang pejabat bank mengatakan bahwa kalau proposal ini diterima, bukan kau saja yang dianggap gila, saya pun akan dianggap gila,” kenang Susi.
Untungnya Ventje Rahardjo, Director of Commercial Banking Bank Mandiri waktu itu, bisa melihat visi besar Susi Pudjiastuti. Setelah melalui serangkaian proses studi kelayakan dan presentasi, akhirnya permohonan pinjaman sebesar $4,7 juta disetujui. Uang tersebut digunakan untuk membangun landasan pacu dan membeli 2 pesawat Cessna Grand Caravan yang diterima pada bulan November 2004. Susi pun mulai mengangkut hasil laut dagangannya dengan pesawat ke Jakarta.
Niat Mulia, Membuka Jalan Sukses
Pagi tanggal 26 Desember 2004, bencana tsunami menerjang Aceh dan menelan kerugian serta korban jiwa yang sangat besar. Susi tergerak untuk membantu para korban. Keesokan harinya, tanggal 27 Desember 2004, menyusun rencana untuk memberangkatkan kedua pesawatnya untuk diperbantukan mendistribusikan logistik ke daerah bencana selama dua minggu penuh. Tidak lupa Susi merogoh kocek pribadi senilai Rp500 juta untuk biaya operasional pesawatnya di Aceh.
Akan tetapi niat baiknya dihadang kendala. Pihak asuransi rupanya mensyaratkan pesawat tersebut untuk tidak terbang di Aceh, Ambon, Papua dan zona konflik lainnya. Usahanya meminta jaminan dari pihak pemerintah tak membuat pihak asuransi berubah pikiran. Tak kurang akal, Susi menghubungi kantor pusat asuransi tersebut di London. Ia menjelaskan kondisi yang terjadi di Aceh dan Meulaboh. Akhirnya pihak asuransi setuju.
Pesawat pun meluncur membawa bantuan logistik. Namun pihak bandara Polonnia Medan tidak mengizinkan kedua pesawat tersebut terbang ke Aceh. Biasa, masalah birokrasi nan prosedural. Susi pun menelpon menteri perhubungan waktu itu, Hatta Radjasa. Tak berbelit, izin pun turun dan kedua pesawatnya melaju, dan menjadi pesawat pertama yang mendarat membawa bantuan logistik di Meulaboh. Di dalam pesawat itu rupanya ada dua kru CNN yang menumpang. Mereka pulalah wartawan pertama yang meliput dan membuka mata dunia terhadap dahsyatnya bencana tsunami Aceh.
Setelah beroperasi dua minggu, Susi berniat menarik kedua pesawatnya pulang. Akan tetapi pihak-pihak LSM yang saat itu ramai di Aceh meminta Susi untuk mengizinkan mereka mencarter kedua pesawat tersebut selama 5 bulan. Susi setuju. Armada tak bernama itu pun mulai dikenal para LSM sebagai “Susi Air.” Padahal awalnya Susi sudah menyiapkan 2 nama untuk dipilih nantinya yaitu Java Air atau Eagle Air. Sejak saat itu, Susi Air mulai menghubungkan Polonia dan daerah-daerah bencana di Aceh.
Setelah masa sewa habis, lagi-lagi Susi tidak bisa membawa pesawatnya pulang. Kebutuhan transportasi masyarakat Aceh rupanya selama ini juga telah terlayani oleh Susi Air. Susi pun memutuskan untuk menjual tiket terjadwal. Kebutuhan yang tinggi membuat Susi menambah satu pesawat lagi di tahun berikutnya, dan mulai menggarap rute pertamanya yaitu Medan – Meulaboh, Medan – Padang Sidempuan, Medan – Silangit dan Medan – Simeulue.
Tahun berikutnya, Susi Air juga menerbangi rute di Papua, lalu disusul Kalimantan. Di tahun 2009 pesawatnya telah mencapai 20 unit, dan bertambah lagi 18 unit di tahun berikutnya. Hingga awal tahun 2014 ini, Susi Air telah memiliki 195 rute dan 162 tujuan penerbangan mulai dari Aceh sampai Merauke. Kini Susi Air telah diperkuat dengan 49 pesawat dan akan bertambah 10 pesawat lagi tahun depan. “Tsunami telah mengubah jalan hidup saya,” kata Susi.
Kunci Suksesnya?
Susi mengakui bahwa keberhasilannya ditentukan oleh passion dan rasa sukanya terhadap bisnis yang digeluti. “Saya tidak coba yang saya tidak suka. Saya cuma kerja yang saya mau dan suka,” tegas Susi sambil menekankan perlunya kerja keras, sikap jujur dan menjaga komitmen. “Saya tidak pernah mengerjakan sesuatu setengah-setengah,” tandasnya.
(Disarikan dari majalah SWA, ed. Maret 2014.)
Artikel Terkait Lainnya:
• Mengintip Strategi Investasi Artis: Giring NIDJI,
• Sang CEO Mengajari Pembantu dan Supir Berinvestasi Reksadana,
• Mengapa Kita Harus Berinvestasi?
wow.. sangat mudah mengikuti alur ceritanya, jadi ikut terharu..