Di Indonesia, sebagaimana negara berkembang lainnya, jurang antara orang kaya dan miskin cukup lebar. Tidak sedikit yang menyalahkan orang kaya. Namun, kebanyakan orang miskin juga tidak mau meluangkan waktu untuk belajar dan “mencuri” ilmu kaya agar bisa sukses secara finansial. Salah satu ilmu tersebut adalah pemahaman (literasi) tentang pengelolaan keuangan termasuk memaksimalkan produk dan institusi keuangan yang ada untuk mendukung pengembangan keuangan pribadi maupun keluarga.
Literasi keuangan (financial literate) dirasakan semakin penting ketika krisis keuangan menerpa Amerika Serikat tahun 2008 lalu dan pengaruhnya merebak memperlambat perekonomian global. Salah satu sumber krisis itu adalah rakyat Amerika sendiri. Ternyata, waktu itu kebanyakan masyarakat Amerika masih telmi (tidak paham) soal perencanaan dan pengelolaan keuangan, alias belum financial literate terlebih di sektor perbankan dan perumahan. Masyarakat Amerika banyak meminjam uang untuk membeli rumah tanpa memahami dampaknya terhadap keuangan pribadi/keluarga, terlebih jika terjadi kenaikan suku bunga. Hal yang ditakutkan pun terjadi. Sebagian besar nasabah menunggak karena tidak mampu menanggung beban cicilan. Ekonomi negara pun kolaps.
Presiden George Bush menyadari pentingnya mengembangkan literasi keuangan untuk meningkatkan pengetahuan rakyatnya supaya kejadian serupa tidak terulang lagi. Bulan Januari 2008, Bush menunjuk John Bryant, seorang pegiat pendidikan keuangan, untuk menjadi Wakil Ketua Dewan Literasi Keuangan. Sebelumnya Bryant telah dikenal sebagai tokoh yang getol mengajarkan perihal pengelolaan keuangan kepada berbagai level masyarakat melalui organisasi nirlaba miliknya yaitu HOPE. Bryant bersama Charles Schwab, seorang mantan pimpinan perusahaan pialang, bergerilya mendidik orang-orang miskin Amerika. Soalnya, kalangan inilah yang akan paling menderita bila terjadi krisis keuangan.
Baca juga: Bagaimana sih Perencanaan Keuangan yang Baik?
Namun segala upaya belum tentu langsung sukses. Penelitian yang dilakukan Annamaria Lusardi dari The George Washington University School of Business pada tahun 2013 menunjukkan bahwa hanya sekitar 30% masyarakat Amerika yang paham soal pengelolaan keuangan. 70% masyarakat belum melek soal keuangan mendasar. Padahal salah satu pertanyaan yang diajukan adalah: Jika Anda memiliki $100 dalam tabungan, sementara tingkat bunga bank adlaah 2%, berapakah nilai tabungan Anda 5 tahun mendatang jika Ada mendiamkan uang tersebut di bank?
Keadaan yang sama ternyata juga terjadi di negara-negara maju termasuk Belanda, Jerman, Rusia, Italia, Jepang, Swedia dan New Zealand. Sebagian besar masyarakatnya masih buta soal keuangan.
Bagaimana dengan Indonesia?
Sebuah survei yang dilakukan OJK pada tahun 2013 lalu menunjukkan bahwa ternyata sebagian besar masyarakat Indonesia belum paham soal keuangan, termasuk memahami soal asuransi, investasi, apalagi instrumen pasar modal. Survei tersebut mengindikasikan bahwa hanya 20% masyarakat yang mengetahui akan tentang lembaga dan produk keuangan.
Artikel Terkait: Investasi tak Mesti dengan Modal Besar
Karena itu OJK pun mengambil langkah-langkah untuk mensosialisasikan aneka pengetahuan mendasar soal keuangan. Pemahaman masyarakat bahwa pengetahuan soal keuangan hanya untuk orang berduit tidaklah tepat. OJK lalu menggunakan berbagai media dan cara, seperti roadshow ke berbagai daerah, sosialisasi di mall, sekolah, sampai acara ibu-ibu rumah tangga pun dilakukan. Termasuk didalamnya penggunaan media online, social media, serta mendorong pihak lembaga keuangan untuk membuat program literasi keuangan bagi masyarakat. Dan tidak kalah penting, para pelaku UMKM juga menjadi target edukasi OJK. Maklum saat ini terdapat setidaknya 40-50 juta UMKM di Indonesia.
Pada akhirnya, bila masyarakat terdidik dengan baik secara keuangan, dampak besarnya akan terasa bagi perekonomian nasional. “Ada hubungan erat antara perencanaan keuangan keluarga dengan stabilisasi sistem keuangan. Keluarga akan menjadi tulang punggung perekonomian (bangsa),” tegas Sri Rahayu Widodo, Deputi Komisioner OJK Bidang Edukasi dan Perlindungan Konsumen, sebagaimana dilansir Majalah Stabilitas.
Anda punya masukan, informasi atau komentar? Sampaikan di sini..