Kisah Jualan Roti Retno dan ROTI

Sari RotiRETNO, seorang direktur di sebuah perusahaan, pensiun tiga tahun silam. Dua tahun sebelum pensiun, dia telah menyiapkan diri. Dari jerih payahnya bekerja selama 32 tahun, ditambah uang pensiun, Retno memiliki dana yang cukup besar. Retno memutuskan untuk menjadi pengusaha. Tampaknya, ia tergoda untuk mencoba “naik kelas”, dari karyawan menjadi pengusaha, meski agak terlambat.

Retno tertarik dan akhirnya memilih berbisnis bakery. Ia sudah mempelajari seluk-beluk bisnis ini dan membuat rencana bisnis. Ia menyewa ruko di daerah perumahan yang baru berkembang, membeli mesin, merekrut baker dan karyawan. Juni 2010 bisnis bakery-nya mulai beroperasi.

Beberapa bulan pertama bisnisnya masih sepi pembeli. Ia berusaha menerapkan berbagai strategi pemasaran berdasarkan pengetahuan dan pengalamannya. Namun bisnisnya semakin sepi dan kerugian menumpuk. Alih-alih membuka puluhan cabang dan menjual waralaba seperti yang diimpikan, setelah 2,5 tahun, Retno akhirnya menutup bisnisnya.

Ironisnya, saat Retno memulai bisnisnya, PT Nippon Indosari Corpindo, Tbk (ROTI) juga sedang melakukan proses penjualan saham perdana (initial public offering -IPO). Perusahaan yang sudah berpengalaman lama di bisnis roti (merek Sari Roti) ini menawarkan saham barunya seharga Rp 1.250 per lembar saham. Sebagaimana kita ketahui, masyarakat pemegang saham sekaligus menjadi pemilik perusahaan tersebut.

ROTI terbukti perusahaan roti yang istimewa. Terbukti selama 2,5 tahun pertama setelah go public, pertumbuhan pendapatan dan laba bersih amat bagus. Investor di bursa saham mengapresiasi tinggi kinerja keuangan ini. Desember 2012 harga saham ROTI sudah menyentuh Rp 6.400. Artinya, investasi para pemegang sahamnya berkembang 400% hanya selama 2,5 tahun. Tentu saja hal ini sangat menguntungkan, belum lagi pendapatan keuntungan usaha (dividen). Dan semua itu diperoleh para pemegang saham (investor) tanpa keluar keringat.

Retno sebenarnya bisa juga memiliki perusahaan roti tanpa harus bersusah payah membangun bisnis dari nol. Ia cukup membeli saham ROTI saat IPO, atau setelah diperdagangkan di Bursa Efek Indonesia (BEI) dan menikmati perkembangan investasinya.

Mulai baca: Mengenal Investasi Saham

Banyak pebisnis baru yang bernasib seperti Retno. Pada umumnya kesalahan mereka adalah terlalu percaya diri sehingga perhitungannya kurang cermat. Keberhasilan berbisnis tidak hanya ditentukan oleh kelihaian melihat peluang dan keberanian mengambil risiko, tetapi juga perencanaan yang matang dan pengetahuan (know-how) atas bisnis tersebut.

Sebuah studi kelayakan bisnis tidak harus berakhir dengan keputusan menjalankan bisnis tersebut. Dalam kasus Retno, ia tidak memiliki pengetahuan dan pengalaman yang cukup untuk bersaing di bisnis bakery yang amat kompetitif.

Mereka yang menyadari kekurangan tersebut, biasanya memilih untuk berbisnis lewat waralaba. Namun tidak semua waralaba bagus. Kalaupun ada yang bagus, “harga” yang diminta pewaralaba biasanya mahal. Karena biaya waralaba dan biaya royalti tinggi, keuntungan bagi terwaralaba menjadi kurang menarik.

Bagi orang seperti Retno, mereka bisa pemilik pasif (sleeping shareholder) sebuah bisnis dengan cara membeli saham-saham perusahaan publik yang bagus.

Namun perlu diingat bahwa pasar modal atau bursa saham bukan sekadar sarana mendapat keuntungan singkat melalui trading saham. Ia memiliki peran mulia sebagai alat demokratisasi ekonomi. Masyarakat yang tidak memiliki cukup kemampuan, dari segi know-how dan/atau modal, untuk menjalankan bisnis punya kesempatan untuk memiliki bisnis yang bagus. Saat ini setidaknya, terdaftar 500-an perusahaan publik yang bisa dibeli sahamnya di Bursa Efek Indonesia.

Memang tidak semua saham ini likuid dan bagus fundamentalnya. Maka dibutuhkan kecermatan dalam memilih. Namun jika kita bisa menemukan 5 hingga 10 saham yang bagus dan memegangnya erat-erat dalam jangka panjang, hasilnya akan luar biasa.

Saat suatu di seminar Universitas Prasetiya Mulya, Lo Kheng Hong yang dikenal sebagai investor sukses, menunjukkan bahwa 50 saham berkinerja terbaik selama 2002-2012 memberikan keuntungan dari 2.072% hingga 14.593%. Ini sama saja dengan keuntungan rata-rata 26% hingga 65% per tahun, selama 10 tahun! So, ide untuk menjadi sleeping shareholder tak terlalu buruk, bukan?

Namun mengapa baru ada sekitar 400.000 investor/trader saham di Indonesia? Bisa jadi karena mayoritas masyarakat kita masih berpikir bahwa investasi saham teramat berisiko. Nampaknya fluktuasi harga saham harian masih dipakai sebagai acuan risiko. Maka bagi yang jantungnya tidak kuat, lebih suka memilih untuk menjadi pebisnis langsung seperti Retno atau berbisnis via waralaba, yang ironisnya belum tentu lebih rendah risikonya.

Investor sejati seharusnya mengabaikan pergerakan harga saham jangka pendek dan lebih fokus pada ekspektasi pertumbuhan harga secara jangka panjang. Mindset “beli saham yang bagus lalu lupakan” bisa membantu kita untuk menjadi sleeping shareholder yang sukses. Yuk kita coba investasi di saham. (Nick A Fransiscus)

(Nick A. Fransiscus adalah seorang investor saham sekaligus marketing investasi pada KDB Daewoo Securities Indonesia Nick dapat juga dihubungi di nick@dwsec-id.com).

Anda punya masukan, informasi atau komentar? Sampaikan di sini..

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

%d blogger menyukai ini: