Data Nasabah Diintip Pajak, Siapa Takut?

Media massa nasional beberapa waktu ini ramai memberitakan munculnya wewenang Ditjen Pajak untuk mengetahui data transaksi nasabah perbankan. Terhitung mulai Februari ini, Ditjen Pajak akan memulai proses pendataan dan pelaporan transaksi keuangan nasabah perbankan dan investor pasar modal. Ada yang perlu dikuatirkan?

Ketentuan ini diatur dalam Peraturan Dirjen Pajak Nomor PER-04/PJ/2018 tentang Tata Cara Pendaftaran Bagi Lembaga Keuangan dan Penyampaian Laporan Informasi Keuangan. Dengan demikian semua industri keuangan dan pasar modal yang harus lapor adalah bank, asuransi, pasar modal hingga lembaga jasa keuangan.

Peraturan ini merupakan penerapan lanjutan dari Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 73/PMK.03/2017 tentang Petunjuk Teknis mengenai Akses Informasi Keuangan untuk Kepentingan Perpajakan. Aturan ini sendiri juga merupakan bagian dari program pelaporan informasi keuangan secara otomatis atau automatic exchange of information (AEoI) yang berlaku internasional.

Sebagai masyarakat biasa, mungkin ada yang menanggapi peraturan ini dengan kekuatiran. Perlukah? Siapa yang perlu kuatir?

Bagi masyarakat yang selama ini telah berusaha menunaikan kewajiban perpajakan dengan sebaik-baiknya, sepertinya tidak ada yg perlu dikuatirkan. Setiap tahun, besaran aset sudah disampaikan secara teratur. Niat baik dan kejujuran tentu akan memberi ketenangan hidup.

Demikian juga bagi para investor pasar modal. Sejak awal pendaftaran sebagai investor, data NPWP sudah disetor. Hal ini menunjukkan bahwa para investor pasar modal sebetulnya sudah siap untuk mengikuti ketentuan perpajakan yang terkait dengan aktifitas investasinya. Dengan kata lain, para investor pasar modal sudah bersikap positip dan transparan sejak semula.

Namun, era keterbukaan informasi transaksi keuangan memang bisa menjadi momok menakutkan bagi mereka yang selama ini tidak jujur terhadap negara. Upaya-upaya berkelit dari kewajiban perpajakan merupakan kejahatan serius yang berdampak langsung pada terhambatnya pembangunan dan penyediaan layanan masyarakat. Mereka inilah yang pantas kuatir, karena kelakuan buruk mereka yang hanya memikirkan keuntungan pribadi akan segera berakhir.

Segelintir kekuatiran lain di kalangan masyarakat adalah inkonsistensi dan perbedaan penafsiran dalam penerapan peraturan perpajakan. Maklum, bagi masyarakat awam, tata perpajakan rumit dan berpotensi membuka ruang perbedaan interpretasi. Untuk itu, formulir-formulir dan peristilahan perpajakan sebaiknya disederhanakan dan tata pembayaran semakin dipermudah.

Karena itu menteri keuangan, Sri Mulyani dalam berbagai kesempatan mendorong instansi pemungut perpajakan seperti Ditjen Pajak dan Bea Cukai untuk mencipta sistem pemungutan perpajakan yang memudahkan masyarakat menunaikan kewajibannya.

“Sistem perpajakan haruslah as painless as possible,” tegas Sri Mulyani dalam suatu kesempatan di hadapan jajaran Kementerian Keuangan baru-baru ini.

Memang harus diakui bahwa sistim perpajakan kita masih cukup rumit dengan beragam tarif serta peristilahanya. Akibatnya, wajib pajak perorangan pun masih harus mengeluarkan effort dan biaya konsultan hanya demi memastikan pembayarannya telah sesuai.

Karena itu, dengan langkah-langkah simplifikasi, bila dilaksanakan, diharapkan suatu saat nanti, membayar pajak akan semudah memesan tiket pesawat secara online. Tanpa kuatir salah.

Ditjen Pajak, Bea Cukai, dan instansi pemungut penghasilan negara dituntut membuka akses dan layanan yang memudahkan. Dengan demikian, akan tercipta budaya pemenuhan kewajban yang mudah, membanggakan, dan melegakan. Bebas kuatir. (AL)

 

Anda punya masukan, informasi atau komentar? Sampaikan di sini..

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

%d blogger menyukai ini: